GfdlTSMiTfGoBUd5TSW6TUz9TY==

Pilihan atau Paksaan: Dualitas Alasan Pekerja Seks Terjun ke Sektor Prostitusi


Perdagangan Manusia (Human Trafficking) merupakan salah satu bentuk perbudakan di era modern, di mana seseorang dimanfaatkan dan dieksploitasi supaya pihak kedua atau ketiga mendapatkan keuntungan darinya. Perdagangan manusia seolah-olah telah menjadi masalah hak asasi manusia secara global, karena tidak ada satupun negara di dunia yang bersih dari perdagangan manusia secara sadar atau tidak. Salah satu bentuk perdagangan manusia yang sering dijumpai, terutama di Indonesia adalah sex trafficking (perdagangan seksual). Sex trafficking adalah bentuk perdagangan seksual, dengan konsen atau tidak, dengan tujuan untuk mendapatkan uang. Biasanya, sex trafficking dikemas dalam bentuk prostitusi yang di dalamnya terdapat peran mucikari. Semua orang bisa terjerat dalam prostitusi, mulai dari perempuan, laki-laki, bahkan anak-anak. Oleh karena itu, muncul dualitas bagi kalangan pekerja seks, apakah sebagai pilihan atau keterpaksaan saat mereka memutuskan masuk ke dunia prostitusi.

Prostitusi banyak menjerat perempuan dan anak-anak. Menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2019, terdapat 230.000 pekerja seks perempuan yang tersebar di 168 wilayah di Indonesia. Sementara, menurut Departemen Kesehatan RI, terdapat 129.000 pekerja seks perempuan yang berusia di bawah 18 tahun. Jumlah tersebut, terus bertambah seiring dengan lapangan pekerjaan khususnya untuk perempuan semakin terbatas. Tujuan dari esai ini yaitu, untuk memberikan tulisan argumentatif, apakah sebagai pilihan atau keterpaksaan, para perempuan memilih bekerja di sektor prostitusi berdasarkan alasan utama yang mendasarinya, peran mucikari (agensi), dan jaminan keamanan yang mereka dapatkan.

Awal mula prostitusi di Indonesia, terjadi pada saat zaman kolonial, di mana pemerintah Belanda melegalisasi prostitusi. Bahkan, pemerintah saat itu memberikan mengatur ketat prostitusi yang berlangsung, untuk mencegah penularan penyakit seksual menular. Praktik prostitusi terus berlanjut di zaman pemerintahan Jepang. Para perempuan pekerja seks dikumpulkan untuk dicek kesehatannya kemudian diminta melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebagai budak seks. Indonesia merdeka, masalah mengenai prostitusi juga semakin komplek. Adanya urbanisasi dan rendahnya tingkat pendidikan perempuan, mendorong mereka untuk terjun di dunia prostitusi, seiring tingginya permintaan atas jasa pelayanan kebutuhan seksual.

Ada banyak alasan bagi perempuan untuk memutuskan bekerja di sektor perdagangan seks. Pertama, ekonomi. Keadaan ekonomi di Indonesia yang tidak stabil dan banyak dari penduduknya yang terjebak dalam kemiskinan struktural, membuat perempuan terutama, memilih jalan instan untuk mendapatkan uang, yakni menjadi pekerja seks komersial. Tidak ada kemampuan atau gelar khusus untuk bekerja pada sektor tersebut. Mereka hanya menyiapkan diri dan mental. Latar belakang pendidikan yang rendah menjadi faktor selanjutnya. Meskipun zaman sudah modern, masih banyak perempuan yang belum bisa mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Padahal, untuk bekerja di sektor tertentu yang lebih aman dan legal, memerlukan gelar dan skill khusus. Terakhir, terbatasnya ruang kerja untuk perempuan, karena terdapat genderisasi pada pekerjaan, semakin mempersempit ruang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan yang legal dan layak. Apalagi peran perempuan yang melekat dengan sektor domestik, yang mana mereka harus melayani kebutuhan seksual laki-laki, menjadi alasan lain sektor perdagangan seks dipenuhi oleh kaum perempuan.

Tidak ada perekrutan secara ‘khusus’ untuk menjadi pekerja seks. Asalkan siap secara fisik, mental, dan mempunyai koneksi pada mucikari, mereka bisa menjadi pekerja seks komersial. Akan tetapi, sosok mucikari atau agen yang bisa memberikan perlindungan kepada pekerja seks, tak lebih dari orang-orang oportunis penyebab para pekerja seks tetap terjerat dalam kemiskinan. Ada banyak pekerja seks yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan keamanan dari para agen mucikari, sementara para pekerja seks menghadapi banyak resiko besar setiap harinya. Entah itu penyakit seksual menular atau bahkan, kekerasan saat melakukan transaksi. 

Kasus-kasus pengeksploitasian yang dilakukan mucikari seperti yang dilakukan oleh Reza Ferdianto (24) yang mempekerjakan pekerja seks berinisial R (32) melalui aplikasi MiChat danWhatsApp (Suparno, 2023). Reza diduga menjajakan R dengan harga lima ratus ribu, kemudian dia mematok untung sebesar dua ratus ribu setiap transaksi. Sementara korban, hanya mendapatkan uang tiga ratus ribu yang digunakan untuk membayar kos. Kasus yang terjadi pada R, hanya satu dari sekian banyaknya kasus pengeksploitasian yang terjadi pada perempuan di Indonesia. Masih ada banyak kasus eksploitasi, yang masih belum terungkap titik perkaranya. 

Hal tersebut, dapat dilihat menggunakan perspektif teori agensi. Dalam teori agensi, semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri baik prinsipal maupun agen dianggap sebagai homo economicus, yaitu individu yang selalu bertindak untuk memaksimalkan keuntungannya sendiri (Kholmi, 2010; Lesmono & Siregar, 2024). Mucikari melakukan tindakan eksploitatif untuk mendapatkan keuntungannya sendiri. Tanpa melihat resiko-resiko lain yang akan terjadi pada pekerja seks. Sementara pekerja seks, terjebak pada lingkaran keuntungan semu. Mereka menganggap dirinya mendapatkan keuntungan atas pekerjaan yang telah dilakukan, namun nyatanya, mereka hanyalah korban eksploitasi dari mucikari yang mengambil keuntungan (hampir setara) dengan uang yang didapat oleh pekerja seks.

 Melihat banyaknya kasus perdagangan manusia di Indonesia, pemerintah telah membuat langkah preventif dengan menandatangani United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNCTOC) pada tanggal 15 November 2000. Selain itu, pemerintah juga membuat peraturan mengenai perdagangan manusia pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2007. Para pelaku yang melakukan praktik eksploitasi perdagangan manusia, dapat dijerat dalam pasal 12 UU No. 21 Tahun 2007 dengan pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 5 miliar. 

Namun, meskipun peraturan hukum masih dibuat, praktik perdagangan manusia meningkat secara terus menerus di Indonesia. Bahkan, secara ironis (Latifah & Noveria, 2014), Indonesia diketahui menjadi salah satu negara penyumbang korban perdagangan manusia secara internasional. Dilihat dari situ, terdapat kegagalan penerapan hukum atau undang-undang yang dibuat kurang efektif untuk mengurangi kasus perdagangan manusia yang terjadi. Apalagi, kurangnya data mengenai kasus perdagangan seks di Indonesia, menyebabkan munculnya persepsi bahwa kasus tersebut tidak sepenting itu. Bahwa mereka yang terjerat dalam prostitusi, akan selalu terjerat dalam rantai eksploitasi dan tidak layak mendapatkan perlindungan yang lebih humanis dari pemerintah. Belum lagi stigmatisasi negatif yang diberikan pada pekerja seks. Istilah “sudah jatuh, tertimpa tangga pula” cocok untuk menggambarkan realita kehidupan pekerja seks komersial.

Oleh karena itu, penulis menarik kesimpulan, bahwa para pekerja seks terutama yang perempuan di Indonesia, terpaksa bekerja di sektor tersebut karena tuntutan ekonomi dan terbatasnya pekerjaan bagi mereka. Belum lagi, peran mucikari yang eksploitatif, hukum di Indonesia yang masih belum bisa terlaksana dengan baik, dan kurangnya jaminan keamanan bagi mereka juga memperkuat argumen penulis. Melihat banyaknya kasus perdagangan seks yang semakin meningkat di Indonesia dan kegagalan pemerintah untuk mencegah perdagangan seks di Indonesia, penulis menyarankan untuk membuat peraturan khusus yang menjamin kesehatan dan perlindungan dari mucikari (agen) yang eksploitatif: dalam penetapan kontrak dan pembagian royalti; serta pemakai jasa pekerja seks komersial untuk mencegah kekerasan. Menurut penulis, dengan memberikan kedua hal tersebut, dapat membantu pekerja seks untuk melindungi hak mereka. Penulis juga percaya, dengan adanya perlindungan khusus dari pemerintah untuk pekerja seks, persepsi negatif masyarakat dapat berubah secara perlahan-lahan.


Referensi

Hidayat, R., Irawan, N., & Aryani, L. (2024). A scoping analysis of collaborative governance in preventing and dealing with the crime of human trafficking in Indonesia.  Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(8), 1-24. https://doi.org/10.24294/jipd.v8i8.4614

Rakhmah, N & Putra, B. P. (2024). Faktor sosial yang mempengaruhi seorang menjadi pekerja seks komersial di Makassar Sulawesi Selatan. UMI Medical Journal, 9(1), 48-66. https://doi.org/10.33096/umj.v9i1.305

George, A., Vindhya, U., & Ray, S. (2010). Sex trafficking and sex work: definitions, debates and dynamics-a review of literature. Economic and Political Weekly, 45(17), 64-73. https://www.jstor.org/stable/25664387

Hidayah, D. F., & Septyan, K. (2024). Sandwich generation: copy paste nilai teori agensi dalam keluarga akuntan. Jurnal Akademi Akuntansi, 7(3), 382-394. https://doi.org/10.22219/jaa.v7i3.31555

Suparno. (2023, Oktober 3). Mucikari Prostitusi Online via MiChat dan WA di Sidoarjo diringkus. https://www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-6963492/muncikari-prostitusi-online-via-michat-dan-wa-di-sidoarjo-diringkus/amp

Latifah, A., & Noveria, M. (2014). The gender perspective on human trafficking in Indonesia. Jurnal Masyarakat & Budaya, 16(3), 373-382. https://doi.org/10.14203/jmb.v16i3.37


0Komentar